Sabtu, 12 Maret 2011

Teori Strategi Pembangunan



Pembangunan merupakan konsep normatif yang mengisyaratkan pilihan-pilihan tujuan untuk mencapai apa yang disebut sebagai realisasi potensi manusia. Pembangunan tidak sama maknanya dengan modernisasi, jika kita memahami secara jelas mengenai makna sesungguhnya dari hakikat pembangunan itu sendiri. Dalam Economic Development in THe Third, mengatakan pembangunan adalah usaha meningkatkan harkat martabat masyarakat yang dalam kondisinya tidak mampu melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan.
A. Membangun masyarakat berarti memampukan atau memandirikan mereka. Dimulainya proses pembangunan dengan berpijak pada pembangunan masyarakat, diharapkan akan dapat memacu partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan itu sendiri.

Menurut Tjokrowinoto (1997), batasan pembangunan yang nampaknya bebas dari kaitan tata nilai tersebut dalam realitasnya menimbulkan interpretasi-interpretasi yang seringkali secara diametrik bertentangan satu sama lain jehingga mudah menimbulkan kesan bahwa realitas pembangunan pada hakikatnya merupakan self project reality. Sumber perbedaan pendapat ini pun bermacam-macam, mulai dari perbedaan dalam perspektif epistemologik-ontologik pada tingkat filsafat, sampai pada perbedaan penilaian atas definisi pembangunan sebagaimana diwujudkan pembangunan itu sendiri dalam konteks empirik. Teori pembangunan ke dalam tiga kategori baser yaitu teori modernisasi, dependensi dan paska dependensi. Teori modernisasi menekankan pada faktor manusia dan budayanya yang dinilai sebagai elemen fundamental dalam proses pembangunan. Kategori ini dipelopori orang-orang seperti:
a. Harrod-Domar dengan konsep tabungan dan investasi (saving and invest at ion)
b. Weber dengan tesis etika protestan dan semangat kapitalisme (the protestant ethic and the spirit of capitalism)
c. McClelland dengan konsep kebutuhan berprestasi (need for achievement, n-ach)
d. Rostow dengan lima tahap pertumbuhan ekonomi (the five stage of economic growth)
e. Inkeles dan Smith dengan konsep manusia modern, serta
f. Hoselitz dengan konsep faktor-faktor non-ekonominya.

2. Kebijakan Pembangunan Nasional
Pembangunan di Indonesia senantiasa diarahkan agar perekonomian Indonesia mengalami akselerasi pertumbuhan yang tinggi, baik pada Pembangunan Jangka Panjang Pertama (PJP I) maupun Pembangunan Jangka Panjang Kedua (PJP II). Pemerintah Indonesia berpedoman bahwa persoalan pertumbuhan ekonomi adalah masalah ekonomi jangka panjang, sehingga mesti diletakkan dalam setiap kerangka pembangunan jangka panjang. Jangka waktu yang relatif lama (20-25 tahun) tersebut dipergunakan untuk mengukur berapa sebenamya capaian tingkat pertumbuhan ekonomi yang telah diraih. Pada PJP I misalnya, pertumbuhan ekonomi direncanakan mengalami peningkatan secara bertahap pada kisaran 6,2% per tahun. Pada PJP II, pertumbuhan ekonomi yang diharapkan meningkat 7,3%. Sasarannya adalah peningkatan pendapatan per kapita $ 2600 pada akhir PJP II (RPJ Nasional 2005-2025).
3. Kebijakan Pembangunan Ekonomi Daerah dalam Perspektif Otonomi
Kebijakan otonomi daerah berakar dari konsep ten-tang desentralisasi, yakni pelimpahan sebagian wewenang yang dimiliki pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah. Konsep desentralisasi sendiri merupakan kebalikan dari sistem sentralisasi di mana seluruh kewenangan dikuasai oleh pemerintah pusat. Kaho (1998) menyatakan bahwa desentralisasi adalah suatu sistem dalam mana bagian dari tugas-tugas negara diserahkan penyelenggaraannya kepada organ atau institusi yang mandiri. Institusi ini berkewajiban untuk melaksanakan wewenang seusai dengan kehendak dan inisiatif programnya sendiri.
Perspektif politik desentralisasi {political decentralization perspective) seperti fokus studi dari Mawhood (1987), Goldberg (1996), Kingsley (1996), Sherwood (1994), Rondinelli (1998) dan banyak pakar lain merupakan kontribusi atas perkembangan pemerintahan modern yang bersifat devolutif. Secara prinsip dikemukakan bahwa desentralisasi adalah devolusi kekuasaan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah {the devolution of power from central to local government) (Putra, 2004).
4. Paradigma Baru Kebijakan Pembangunan Ekonomi Daerah
Menurut Kuncoro (2004), teori pembangunan yang ada selama ini memang belum berhasil mengupas secara tuntas mengenai kegiatan-kegiatan pembangunan ekonomi yang ada di daerah. Karena itulah sangat penting untuk melakukan perumusan ulang paradigma baru perencanaan pembangunan ekonomi daerah yang iebih komprehensif diperlukan suatu sintesis di antara berbagai pendekatan yang ada sehingga bisa dihasilkan rumusan baru tentang paradigma baru pembangunan ekonomi di daerah secara lebih tepat.
Paradigma baru pembangunan ekonomi daerah mengandaikan pembangunan yang ada di daerah mencakup hal berikut:
a. Pembangunan dilakukan dengan mempertimbangkan potensi daerah bersangkutan, serta kebutuhan dan kemampuan daerah menjalankan pembangunan.
b. Pembangunan daerah tidak hanya terkait dengan sektor ekonomi semata melainkan keberhasilannya juga terkait dengan faktor lainnya seperti social, politik, hukum, budaya, birokrasi dan lainnya.
c. Pembangunan dilakukan secara bertahap sesuai dengan Skala prioritas dan yang memiliki pengaruh untuk menggerakkan sektor lainnya secara lebih cepat.
Dalam pemahaman Hirschman, pembangunan memerlukan prioritas, pilihan lokasi, individu maupun sektor strategis yang juga punya efek forward dan backward. Hirschman (1958) mengemukakan bahwa di daerah miskin banyak kendala yang dihadapi setiap sektor untuk melaksanakan strategi kebijakan pertumbuhan berimbang {balance growth). Hal tersebut akan mempersulit pelaksanaan dari strategi kebijakan pertumbuhan berimbang. Hirschman menyatakan strategi kebijakan yangpaling tepat adalah strategi kebijakan pertumbuhan tidak berimbang. Karma itu dalam analisis backward linkage dan forward linkage, strategi kebijakan pertumbuhan tidak berimbang mengakui adanya komplementasi antar sektor melalui hubungan permintaan output dan penawaran input. Hirschman membedakan kedua kaitan antar sektor tersebut sebagai forward linkage dan backward linkage. Forward linkage adalah kaitan antar sektor ke arah permintaan output dan backward linkage adalah kaitan antar sektor ke arah penawaran input.
Di era otonomi, pembangunan ekonomi haruslah dilakukan secara serentak pada setiap sektor, walaupun menurut Hirschman (Todaro, 1985), bahwa untuk negara (daerah) berkembang pembangunan ekonomi tidak dilakukan secara serentak {unbalanced growth) yaitu dengan menetapkan sektor unggulan, dimana sektor unggulan ini akan berimplikasi ke depan {forward linkages) dan hubungan ke belakang (backward linkages). Pemerintah haras memberikan kejelasan bahwa kemakmuran dan kesejahteraan ekonomi yang akan dicapai sesuai dengan kehendak masyarakat daerah, karma masyarakat itu sendirilah yang lebih mengetahui sektor ekonomi mana yang perlu ditingkatkan, dikembangkan, dipertahankan, sesuai dengan sosio-kultur daerah tersebut.
PARADIGMA BARU PEMBANGUNAN
Kalau pada model awal pembangunan yang ditekankan adalah perlunya kapitalisasi, kemudian dalam model distribusi sosial muncul kesadaran akan keadaan marginalitas yang dihasilkan oleh konsep pembangunan dengan arti pertumbuhan, maka kemudian tampil sejumlah pengulas teori pembangunan – terutama yang berasal dari negara berkembang sendiri, seperti Amerika Latin – yang meninjaunya dari sudut tekanan historis mengenai hubungan antara negara maju dengan negara terbelakang. Bagi kelompok analis ini, yang menjadi masalah utama yang sebenarnya bukan terletak pada kuantitas pertumbuhan ekonomi (seperti yang diukur dengan persentase tingkat pertumbuhan per tahun), ataupun pada kualitas pertumbuhan sosial, melainkan pada kualitas dari proses pencapaian pertumbuhan itu sendiri.
Pandangan ini tetap mengakui pentingnya pembangunan ekonomi dan sosial, namun menurut mereka persoalan kunci adalah: siapa yang mengendalikan pembangunan? Apakah negara-negara yang sedang membangun itu merupakan objek pembangunan – kendali tujuan berada di tangan seseorang di luar mereka – atau mereka merupakan subjek pembangunan – yakni mengendalikan sendiri tujuan mereka itu? Dalam menjawab pertanyaan inilah kemudian muncul teori-teori dependensi (ketergantungan) dan teori keterbelakangan {underdevelopment).
Teori Dependensi
Menurut Servaes (1986) teori-teori dependensi dan keterbelakangan lahir ftftegai hasil “revolusi intefektuai” secara umum pada pertengahon tahun 60-an sebagai tantangan para ilmuwan Amerika Latin terhadap pandangan Barat mengenai pembangunan. Meskipun paradigma dependensi dapat dikatakan asli Amerika Latin, namun “bapak pendiri” perspektif ini adalah Baran, yang bersama Magdoff dan Sweezy merupakan juru bicara kelompok North American Monthly Review.
Frank (1972) menolak anggapan yang umum bahwa pembangunan akan terjadi menggantikan tahap kapitalis, dan bahwa negara-negara yang terbelakang sekarang ini masih dalam suatu tahap, yang kadang-kadang digambarkan sebagai suatu tahap sejarah yang orisinal, melalui manginegara-negara yang sekarang sudah maju, telah melewatinya di masa silam, Secara garis besar, yang dimaksud dengan dependensi adalah, suatu keadaan di mana keputusan-keputusan utama yang mempengaruhi kemajuan ekonomi di negara berkembang seperti keputusan mengenai harga komoditi, pola investasi, hubungan moneter, dibuat oleh individu atau institusi di luar negara yang bersangkutan.
Strategi Baru Pembangunan
Sejumlah pemikir pembangunan (kebanyakan para ekonom) telah berkumpul pada Pertemuan Houston tahun 1977 untuk menjajagi suatu “strategi baru pembangunan” (Hill, 1979). Dalam pertemuan itu, teori tinggal landas Rostow, atau tabungan dan industrialisasi dari Nurkse telah dikritik oleh Seers, Streeten, Cardoso, dan Hirschman.
Pandangan Streeten tentang strategi baru bagi masa depan pembangunan merupakan ringkasan dan pemikiran-pemikiran koleganya, yakni penegasan mengenai:
a. pendekatan kebutuhan dasar untuk mayoritas kaum miskin melalui peningkatan pelayanan social,
b. penekanan pada distribusi pertumbuhan sebagai indikator pembangunan;
c. pertanian sebagai sektor prioritas ekonomi dan pemberian kredit, informasi, inputs, dan infrastruktur pasar bagi kaum miskin;
d. teknologi padat karya dan tepatguna lainnya;
e. penekanan pada aspek sosial dan politik sekaligus ekonomi dari pembangunan.
la berkesimpulan bahwa pelajaran dari 25 tahun pemikiran pembangunan menunjukkan baik ide-ide besar Keynes maupun penekanan Marx pada kepentingan ekonomi kalangan elit yang berkuasa, telah tidak memadai dalam menjelaskan masalah kompleksitas dan kontradiksi pembangunan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar